Menurut rencana, hari ini, 10 April 2012, akan diadakan sidang paripurna RUU
PT (Rancangan Undang Undang Pendidikan Tinggi). Tentu saja dalam setiap
pembahasan undang undang selalu didapati beberapa hal yang patut dikaji.
Pada dasarnya pendidikan adalah salah satu tujuan dari negara kita
sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat “..mencerdaskan
kehidupan bangsa..” juga pada pasal 31 ayat 1 UUD 1945 tentang
pendidikan yang berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan.”yang dalam hal ini tentunya adalah pendidikan yang tidak
diskriminatif.
RUU PT ini muncul dilatar belakangi akan adanya desakan dari tujuh buah
perguruan tinggi berbadan hukum milik negara (PT BHMN) yang seakan kehilangan
payung hukum pasca pembatalan UU BHP (Undang Undang Badan Hukum Pendidikan)
oleh MK pada Maret 2010. Dan akibat pembatalan itu landasan hukum dari PT
BUMN kembali ke PP (Peraturan Pemerintah) untuk masing masing PT. Sementara
itu, PP dinilai masih terlalu lemah dalam kekuatan hukum sehingga dianggap
perlu untuk membuat suatu undang undang yang mengatur tentang pendidikan tinggi.
Atas dasar itulah RUU PT dianggap perlu untuk dibuat.
Namun, tentu saja kurang pantas ketika sebuah undang undang dibuat hanya
untuk mengakomodir kepentingan beberapa perguruan tinggi saja. Maka dari itu
diangkatlah sebuah isu besar dalam pembentukan RUU tersebut. Isu otonomi
perguruan tinggi dianggap layak diangkat dalam RUU ini, termasuk didalamnya
adalah otonomi keuangan dan otonomi akademik. Otonomi keuangan yang menyangkut
pengelolaan keuangan PT yang fleksibel sehingga tidak mengganggu proses belajar
mengajar, juga otonomi akademik terkait dengan kebebasan PT untuk mengembangkan
program studinya tanpa mengalami kendala birokrasi.
Ada beberapa poin yang patut dikaji dalam RUU ini.
Pasal 114
(1) Perguruan Tinggi di negara lain dapat menyelenggarakan
pendidikan tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Persoalan utama disini adalah RUU PT yang menganut sistem liberalisasi
pendidikan, dimana negara seakan berlepas tangan terhadap tanggung jawab
pendidikan di indonesia. Hal ini bermula ketika indonesia menandatangani
perjanjian GATS (General Agreement on Trades in Services) pada tahun 1994 yang
menyepakati tentang liberalisasi 12 sektor jasa, termasuk didalamnya adalah
sektor pendidikan. Ketika konsep liberalisme –khususnya di bidang pendidikan–
terjadi, hal ini akan menimbulkan ketidak seimbangan antar perguruan tinggi di
indonesia. Seperti kita ketahui bersama, dengan adanya banyak perguruan tinggi,
hanya beberapa perguruan tinggi saja yang menjadi pilihan favorit para calon
mahasiswa. Sedangkan pada perguruan tinggi lainnya akan terkesan kekurangan
peminat. Apalagi ketika perguruan tinggi asing yang ‘membuka cabang’ di
indonesia yang secara alami akan banyak menyedot peminat dari calon mahasiswa
sendiri. Hal ini akan menimbulkan terkikisnya budaya lokal indonesia. Belum
lagi ketika hasil penelitian dari indonesia yang berpindah tangan menjadi hak
milik perguruan tinggi yang bersangkutan, tentunya itu akan sangat merugikan
bangsa ini.
Pasal 77
(1) Status pengelolaan perguruan tinggi terdiri atas:
a. otonom terbatas;
b. semi otonom, atau
c. otonom.
(4) Status otonom sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan
perguruan tinggi yang memiliki otonomi pengelolaan bidang akademik dan non
akademik.
(5) Sebagian dari wewenang non akademik sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) adalah wewenang pengelolaan keuangan secara mandiri.
Aturan ini secara gamblang menjelaskan adanya kastanisasi atas perguruan
tinggi itu sendiri. Pada ayat 4 dijelaskan bahwa perguruan tinggi otonom akan
memiliki hak pengelolaan di bidang akademik dan pada pasal 5 ditambahkan salah
satu wewenangnya adalah wewenang pengelolaan keuangan secara mandiri. Otonomi
ini, secara lebih lanjut akan menimbulkan banyak permasalahan terkait dengan
akuntabilitas, transparansi, bahkan akan menimbulkan seleksi finansial bagi
calon mahasiswa yang akan berimplikasi pada diskriminasi warga negara dalam hak
memperoleh pendidikan. Ke depannya, segala bentuk diskriminasi ataupun
kastanisasi itu seharusnya dihindari, bukan dikembangkan dalam bentuk undang
undang.
Pasal 80
(1) PTN yang berstatus otonom menerima mandat penyelenggaraan perguruan
tinggi dari Pemerintah melalui pembentukan badan hukum pendidikan yang bersifat
nirlaba.
(2) PTN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki:
c. hak untuk memiliki kekayaan negara yang terpisah;
f. wewenang untuk mengelola dana secara mandiri, transparan, dan
akuntabel
h. wewenang untuk mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi
Pada pasal ini ditemukan kerancuan antara perguruan tinggi sebagai sarana
pendidikan dan perguruan tinggi sebagai badan usaha. Dalam tri dharma perguruan
tinggi, perguruan tinggi menjalankan fungsinya sebagai sarana 1)
Pendidikan 2) Penelitian dan Pengembangan; serta 3) Pengabdian pada Masyarakat.
Sementara itu RUU ini akan mereduksi implementasi tri dharma perguruan tinggi
dan akan merubah sebagai badan usaha yang profit-oriented karena negara
mengurangi subsidi terhadap biaya operasional perguruan tinggi.
Pasal 90
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau perguruan tinggi berkewajiban
memenuhi hak mahasiswa baru yang tidak mampu secara ekonomi agar dapat
menyelesaikan studinya sesuai peraturan akademik.
(2) Pemenuhan hak mahasiswa baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara:
c. memberikan dan/atau mengusahakan pinjaman dana kepada mahasiswa;
(3) Pinjaman dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diberikan
tanpa bunga atau dengan bunga paling tinggi 50% dari suku bunga Bank Indonesia.
(4) Pinjaman dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c wajib
dilunasi oleh mahasiswa setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.
Pada ayat 2 butir c pemerintah memberikan salah satu solusi terkait dengan
pemenuhan biaya pendidikan bagi kalangan tidak mampu dengan program hutang.
Kebijakan ini cukup aneh ketika pemerintah mengajarkan budaya berhutang sebagai
salah satu solusi.
Pasal 14
(1) Mahasiswa sebagai anggota sivitas akademika diposisikan sebagai
insan dewasa yang memiliki kesadaran sendiri mengembangkan potensinya di
Perguruan Tinggi untuk menjadi intelektual, ilmuwan, praktisi dan/atau
profesional.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai mahasiswa diatur dalam
Peraturan Menteri.
Pasal 15
(1) Mahasiswa mengembangkan bakat, minat, potensi, dan kemampuan melalui
kegiatan kokurikuler dan ekstra kurikuler sebagai bagian dari proses pendidikan
mahasiswa.
(2) Kegiatan kokurikuler dan ekstra kurikuler sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilaksanakan melalui organisasi kemahasiswaan.
(3) Ketentuan mengenai kegiatan kokurikuler dan ekstra kurikuler
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 91
(1) Mahasiswa dapat membentuk organisasi kemahasiswaan yang
diselenggarakan oleh, dari, dan untuk mahasiswa.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi kemahasiswaan
diatur
dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi Kemahasiswaan.
Dalam beberapa pasal diatas, beragam ketentuan sebagai mahasiswa diatur oleh
pemerintah dalam bentuk peraturan menteri. Juga segala kegiatan kokurikuler
dan/atau kegiatan ekstrakurikuler juga diatur oleh pemerintah dengan cara yang
sama. Yang menjadi permasalahan adalah hal ini berpoternsi mengulang episode
NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus / Badan Koordinasi Kemahasiswaan) seperti
yang terjadi di rezim orde baru. Hal ini berpotensi mengakibatkan banyak hal,
seperti tindakan represif yang mengekang kegiatan kemahasiswaan dan lain
sebagainya.
Satu hal lagi yang menjadi permasalahan adalah banyaknya peraturan yang
berpotensi untuk dibuat sebagai tindak lanjut dari undang undang ini karena
semua bentuk pendidikan akan diatur oleh pemerintah, yang dampaknya adalah akan
mengakibatkan pemborosan anggaran dan semacamnya.
Satu yang menjadi kesimpulan adalah terlalu banyak celah yang dapat
“dimanipulasi” dalam RUU PT ini. Ada baiknya ketika pengesahan RUU ini ditunda
agar bisa dikaji lagi secara lebih mendalam.
http://bem.its.ac.id/sebuah-kontroversi-tentang-ruu-pendidikan-tinggi/